Bukan Dengan Kata – Kata…( a conversation with Sister Karima of Matsue Mosque )

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk ngobrol – ngobrol dengan Brother Bah dan Sister Karima, pasangan suami istri imam mesjid di Matsue. alhamdulillah di kota Matsue ada mesjid yang menjadi oase kecil bagi muslimin dan muslimah, baik yang dari Jepang maupun dari penjuru dunia yang datang untuk bekerja ataupun menuntut ilmu di kawasan Perfecture Shimane.

Saya akan menulis tentang mesjid di tulisan yang lain, di tulisan ini saya akan membagi beberapa hal dari pembicaraan saya dengan Sister Karima. Sister Karima adalah orang asli Jepang yang sudah lama memeluk Islam dan sangat membantu Brother Bah dalam tugas dan dakwahnya sebagai imam.

Sister Karima dapat berbahasa Inggris dengan sangat baik, sehingga alhamdulillah pembicaraan kami lancar dan sebagai sesama muslimah, ada hubungan yang langsung terasa.

Bermula dari pertanyaan saya, bagaimana faktor budaya Jepang mempengaruhi dakwah yang dilakukan mereka di Matsue pada khususnya dan Jepang pada umumnya. Sister Karima menjawab bahwa salah satu hal yang memudahkan bagi mereka adalah bahwa budaya kesopanan dari orang Jepang yang sangat jarang menyela pembicaraan orang lain. Pada saat Sister Karima menjelaskan tentang Islam, dalam gathering atau acara lain, mereka dengan baik menyimak dan mendengarkan, sehingga paling tidak, semua informasi tentang Islam yang disampaikan saat itu dapat disampaikan dengan baik.

Hal lain yang dirasakan oleh Sister Karima adalah pada dasarnya, walaupun mungkin Islam sangat asing bagi orang Jepang, mereka cukup open minded dan peduli pada muslim dan muslimah. Brother Bah pun menambahkan bahwa sampai sejauh ini para muslim yang bekerja, tidak mendapat kesulitan dalam menjalankan sholat 5 waktu, sepanjang bisa menjelaskan kewajiban itu kepada atasannya.

Hal yang disampaikan oleh Brother Bah dan Sister Karima pun saya rasakan dalam masa tinggal saya yang terhitung singkat disini. Karena berkerudung, hampir setiap orang yang saya temui langsung paham bahwa saya muslim. Dari mulai petugas supermarket  yang memberitahu lokasi daging non-halal yang mereka paham terlarang bagi muslim, atau pertanyaan untuk mengkonfirmasi bahwa karena saya muslim karena itu berkerudung, sampai manajer restauran yang berusaha memastikan menu yang bebas dari yang daging non – halal dengan bahasa Inggrisnya yang terbata – bata. Semua itu pengalaman yang sangat berkesan.

Di akhir pembicaraan  dengan Sister Karima, saya bertanya apakah bertambahnya jumlah muslim di Matsue khususnya atau di Jepang umumnya adalah sesuatu hal yang dia inginkan  terjadi di masa yang akan datang ? Jawaban Sister Karima sangat menyentuh saya. Dia menyampaikan bahwa bertambah dalam jumlah itu penting, akan tetapi salah satu konsentrasi dakwah yang dilakukan oleh Brother Bah dan dirinya adalah bagaimana mempertahankan keislaman dari muslimin dan muslimah yang ada di Matsue, yang datang dari berbagai penjuru dunia, yang tiba – tiba berada di tempat asing.

Sering Brother Bah dan Sister Karima menemukan bahwa mempertahankan keislaman seseorang yang jauh dari tanah airnya itu jauh lebih sulit, karena berada di tempat yang baru sering juga menggeserkan sistem nilai yang dianut. Apabila di tempat asalnya kendali sosial dan budaya masih membantu untuk mengingatkan, maka di tempat asing, apalagi tanpa dikelilingi oleh lingkungan yang akrab dan keluarga, seringnya perilaku dan nilai – nilai berubah menjauh dari nilai – nilai dan perilaku sebagai muslim.

Sister Karima menyampaikan sebagian mualaf di Jepang itu terkesan dan kemudian memeluk Islam karena mengenal seorang muslim, mengamati kehidupannya, mengamati perilaku dan kesehariannya, kemudian timbul perasaan terkesan dan kemudian baru ingin tahu lebih lanjut tentang Islam. Oleh karena itu, lanjut Sister Karima, kalau Islam ingin berkembang di Jepang, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah perilaku muslimin dan muslimah yang menjadi contoh bagi masyarakat Jepang dimana dia berada saat ini. Dakwah tidak bisa dengan kata – kata, tetapi harus dengan perbuatan. Kalau perilaku kita tidak mencerminkan sebagai seorang muslim, kemudian apa bedanya dengan yang lain ? Bagaimana kemudian kita bisa membuat orang tahu, bagaimana keindahan Islam, kalau kita sebagai pemeluknya tidak menampakkan keindahan tersebut.

Ah, uraiannya membuat saya tercekat, betapa kadang saya sendiri terlena karena tinggal dan hidup di tanah air yang mayoritas muslim. Terkadang lupa bahwa masing – masing diri ada dakwah yang harus dilakukan, paling tidak dari perilaku sehari – hari saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bukan dengan terlalu banyak kata – kata seharusnya kita berdakwah, tetapi dengan perbuatan, dengan contoh nyata, menyelaraskan pengakuan bahwa kita beriman dengan perilaku yang beriman pula.

Saya pulang dari wawancara tersebut dengan semangat yang terbarukan, dan seringnya saya malah  belajar banyak tentang semangat keislaman dari saudara – saudara mualaf. Hari itu saya belajar dari Sister Karima….alhamdulillah atas hikmah pelajaranMu ya Allah….

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *