Kegembiraan yang besar bagi orang yang berpuasa adalah pada saat berbuka puasa. Dan bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, contohnya Jakarta dan Bandung, salah satu fenomena yang menonjol menjelang waktu berbuka puasa adalah semakin “buas”nya pengendara motor maupun mobil di jalan, terburu – buru ingin sampai ke rumah atau tempat tujuannya, untuk berbuka puasa.
Puasa mengenalkan kita pada rasa lapar, pada rasa haus yang menghimpit, Dan bagi yang telah bekerja seharian sambil berpuasa, terkadang ada hari – hari dimana rasa lapar dan haus itu luar biasa. Terutama di hari – hari pertama berpuasa. Badan yang belum terbiasa dengan jadwal makan yang baru, sering menyerah secara fisik dan mental justru di “injury time” menjelang berbuka puasa. Waktu kritis itu adalah di jam 4 – waktu maghrib. Dan itu bertepatan dengan rush hour di kota – kota besar.
Rasa lapar dan haus, fisik dan mental yang sudah melemah di saat – saat menjelang berbuka dan rush hour merupakan kombinasi yang “tepat” untuk “kebuasan” di jalan raya. Semua orang terburu – buru ingin sampai ke tempat yang paling nyaman untuk berbuka, tak peduli apakah hal itu akan dicapai dengan ngebut, menyalip kendaraan lain, menyelip dari kiri, membunyikan klakson berulang – ulang, saling pelotot, saling mengacungkan tinju ataupun membentak pengemudi lain. Saya mengamati hal ini bertahun – tahun sebagai pelaju antara Gatot Subroto dan Bintaro setiap hari selama hari kerja. “Kebuasan” ini makin meningkat dengan makin dekatnya waktu maghrib. Ironis, di waktu yang digolongkan baik untuk memanjatkan doa dan dalam keadaan berpuasa, justru sikap “buas” makin menjadi. Mungkin kita pun pernah menjadi bagian dari kebuasan ini, sebagai pelaku yang terburu – buru dengan segala cara ingin berbuka di tempat yang nyaman.
Rasa lapar dan haus yang menjadi ujian dan bagian dari ibadah puasa, gagal mengeluarkan hal baik dari kita, malahan kita biarkan sifat buas ini menjadi menonjol. Bukannya menjadi berempati bagi banyak saudara – saudara yang masih merasakan lapar setiap hari tanpa tahu apakah ada untuk sekedar pengganjal perut, kita sibuk memikirkan dengan apa perut akan kita isi saat berbuka itu. Pada saat kita sudah merancang – rancangn kira – kira apa yang enak untuk dimakan pada saat berbuka, mungkin di tempat lain ada orang lain yang sedang terengah – engah bertahan pada nyawa yang lemah karena kelaparan. Kita yang setiap hari bisa makan sehari 3 kali bahkan lebih, sudah menjadi makhluk yang buas pada saat jatah makan dan minum dikurangi, padahal di tempat lain banyak orang yang berada di tingkatan fakir dan miskin yang bisa menumbuhkan sabar dalam kefakirannya. Rasa lapar yang kita rasakan belum mampu untuk mendorong kita makin sabar dan makin bersemangat membagi rasa kenyang. Sepertinya kita perlu perubahan sikap. Ramadhan sudah menghampiri kita, sekarang lah saatnya untuk berubah.