Sambal terasi itu bagi saya adalah bread and butter of Indonesian culinary. Selalu dikangenin kalau sedang jauh dari tanah air, salah satu hal yang sering bikin homesick. Dan berdasarkan pengalaman saya dan suami tinggal di Amerika dan Jepang, membawa peralatan untuk membuat sambal itu adalah salah satu hal yang masuk prioritas kami. Agar tak berat, maka dibawalah cobek dari kayu dan tidak lupa, terasi matang dalam sachet dan botol.
Cobek kayu dan sambal terasi yang tadinya hanya untuk lingkungan dapur apartemen kami, ternyata “naik kelas” ikut ambil bagian dalam memperkenalkan Indonesia di Matsue. Hanya beberapa hari setelah kami datang, Matsue International Community Center meminta presentasi tentang Indonesia. Karena untuk masak – masak waktu dan tempat tidak memungkinkan, maka jadilah Sambal Terasi jadi feature presentation memperkenalkan kuliner Indonesia.
Tadinya saya agak ragu untuk memperkenalkan terasi, karena pengalaman saya, orang asing kadang terganggu dengan bau terasi yang menyengat. Ternyata, orang Jepang lebih bisa menerima bau terasi dan mengenali bahwa terasi dibuat dari udang. Wah, syukurlah…ini kali pertama saya perkenalkan terasi tanpa audience nya lari terbirit – birit….karena gak tahan baunya…hahahahah….
Sambil peserta presentasi mencoba sambal terasi, diam – diam saya berdoa dalam hati…”Ya Allah, jangan sampai orang – orang yang mencoba sambal terasi buatan saya ini sakit perut”. Saya sediakan ketimun untuk makan sambal terasi tersebut dan dalam sekejap ketimun dan sambal ludes tak bersisa…hehehe….
Dan sambal terasi pun jadi sarana saya mendapatkan banyak teman – teman baru di Matsue. Kalau Yoga, suami saya, diingat oleh peserta presentasi karena presentasinya yang santai, penuh humor dan diselingi banyak bahasa Jepang karena dia sudah sangat fasih, maka saya diingat sebagai istri Yoga-san yang membuat “sambaru” ( sambal ). Sambal terasi pun jadi naik kelas dari dapur ke arena “diplomasi” 🙂