“Nilai uang itu relatif”, kata seorang sahabat. “Tergantung lu ada di mana dan mau ngapain, Feb”. Ya memang dia banyak benarnya. Sebenarnya yang memberi nilai pada uang itu adalah bagaimana cara pandang kita. 100 ribu rupiah…bisa besar, bisa kecil. Tergantung. Relatif.
Saya tanya seorang sahabat yang saya tahu pasti sudah masuk kategori uangnya gak berseri…heheheh…saya tanya apa arti nilai 100 ribu rupiah buat dia. Dan dia bilang,”Itu jumlah yang paling gue inget, Feb. Dulu waktu lagi jatuh2nya usaha gue, ditipu pula 100 ribu perak sama orang. Sakiiiit banget rasanya”. Lanjutnya,” Makanya sekarang gue gak berani utk nganggap uang berapapun kecil. Kecil buat gue, tapi untuk yang butuh banget, itu gede banget !”
Nah, nilai uang bisa beda karena pengalaman.
Nilai uang juga bisa berbeda karena kebiasaan bagaimana kita belanjakan uang. Kalau terbiasa belanja tanpa banyak pemikiran, biasanya standard nilai uanganya juga beda. Beli kopi premium, dengan cream yang lembut di lidah, 40 – 50 ribu mungkin biasa aja. Lalu ditambah dengan cake dan lain – lainnya, hampir 100 ribu hanya untuk sekali belanja. Itu jadi standard murah, karena biasa. Lalu standard murah ini secara tidak sacar akan terbawa ke kegiatan belanja yang lain juga. Karena kopi yang bukan prioritas itu masuk kategori murah dengan nilai sekian, maka nilai murah untuk yang lainnya pun akan naik. Oleh karena itu biasanya belanja dan tempat belanja ada polanya. Yang biasa ngopi disuatu tempat, biasanya suka makan di tempat itu, biasanya suka nongkrong di tempat ini dan biasanya spendingnya sekian.
Maka perlu sesekali kita periksa bagaimana kita menilai sejumlah uang. Apa artinya buat kita, dan bagaimana nilainya dalam pikiran kita. 100 ribu, mungkin untuk untuk kalangan menengah dengan spending harian $ 2 – $ 20, itu berada di tengah – tengah pengeluaran yang biasa dilakukan. Tapi coba periksa apa arti 100 ribu rupiah bagi pedagang gorengan, pedagang bubur kacang hijau, pedagang mainan anak asongan. Beda nilainya, beda artinya. Apalagi untuk keluarga yang ada di garis atau bahkan di bawah garis kemiskinan. 100 ribu bisa memenuhi kebutuhan mereka untuk berhari – hari. Dan itu makan 3 kali untuk satu keluarga, walaupun hanya dengan nasi, garam dan sedikit tempe.
Karena itu berbagi bisa jadi alat untuk meng-“kalibrasi” bagaimana kita menilai uang. Agar selalu kita diingatkan bahwa yang kecil buat kita bisa berarti bagi banyak orang. Agar ada rem bagi bagaimana kita mengelola keuangan dan memenuhi kebutuhan. Agar kita paham bagaimana harta yang Allah titipkan ini bisa berguna untuk orang lain. Agar kita tidak kebablasan, berlebihan dan gampang bermewah. Supaya tetap membumi, mengakar, menghargai dan bisa diamanahi.