Pagi ini saya tweet tentang ayah berkualitas. Terimakasih teman – teman atas RT dan commentnya. Semoga sama2 bisa belajar dan saling mengingatkan. Saya bukan ahli dalam hal perayahan, juga tidak mengklaim punya ayah yang sempurna 🙂 Tweet saya hanya rangkuman pengamatan, pengalaman, curhatan teman – teman, baik dalam posisi sebagai ayah maupun sebagai anak. 140 karakter terkadang tidak cukup untuk menyampaikan semua yang ada di balik tweet yang ditulis. Maka saya sambung di blog ini….
#1. Ayah yg berkualitas, diawali dng mendidik anak lelaki yg berkualitas dan mencontohkan spt apa yg berkualitas itu.
Hal ini saya lihat dari banyak contoh bahwa pria yang kikuk menjadi ayah, karena pada dasarnya kurang paham bagaimana menjadi laki – laki. Dan yang paling penting, dia kurang melihat contoh bagaimana menjadi seorang ayah.
Ada teman yang berkata, bahwa hal yang paling dia ingat dari ayahnya adalah tidak pernah mengeluh. Dia melihat ayahnya berjuang untuk keluarga siang malam, tapi tidak pernah ada satu kata keluhanpun yang keluar dari mulut ayahnya. Bagi dia, itulah gambaran lelaki. Tidak mudah mengeluh.
Ada pula teman yang sampai di usia 40an merasa kecewa pada ayahnya. Ayahnya sering berjanji saat dia kecil sampai dewasa. Tapi janji tersebut banyak tidak ditepati. Ayahnya pernah berjanji pada sang ibu untuk memberikan rumah mungil milik sendiri setelah sekian lama menjadi “kontraktor” yang berpindah – pindah. Sampai ibunya meninggal, janji tersebut tidak ditepati. “Ibu saya sampai meninggal makan janji saja, Feb !”. Ah, kekecewaan yang dalam. Dan dia pun berkeras dalam hati tidak akan seperti ayahnya. “Laki – laki pantang janji tanpa bukti !”. Disamping terselip ketakutan yang dalam untuk berjanji, walaupun untuk hal – hal yang kecil. Sampai istrinya yang juga sahabat saya pun mengeluh, ” Si ayah itu janji kecil aja kayak mau ditagih sama malaikat, deh ! Susah banget bilang iya dng pasti. Jawabannya pasti…kita liat ya…ayah usahakan…nanti kecewa, lho” Nah !
#2. Dan contoh mmg lbh efektif, krn pd usia ttt anak akan menilai ucapan yg keluar dari mulut, dng kenyataan yg dilihat.
Ini kalau kalimat singkatnya “Bicara sih gampang…buktinya ?” Ya, memang ini adalah bukan kata – kata yang baik yang dilontarkan kepada orang tua. Tapi terkadang kita pun perlu menafakuri apalagi dalam posisi sebagai orang tua dari anak yang sudah beranjak dewasa, mungkin saja ini tidak terucap, tapi terbersit dalam pikiran anak. Sepanjang hari kita “ceramah” pada anak, berapa banyak bukti dari “ceramah” itu yang bisa kita sediakan untuk dilihat anak. Banyak yang mana ? Ceramah atau bukti ?
Ada teman yang mengalami tahapan hidup dimana harus “berkelana” ke berbagai kenakalan. Orang tua sudah angkat tangan dan pasrah pada Allah saja. Tapi di suatu titik, dia tersadar. Apa yang membuat tersadar ? Karena ayahnya. Bukan karena ayahnya tiap hari menasihati, tapi karena tiap hari dia melihat betapa berkerasnya sang ayah untuk tetap berkarya walaupun anaknya sedang menjadi cobaan iman bagi dirinya. Dia melihat ayahnya konsisten berdoa dan bertawakal kepada Allah. Dan dia melihat konsistensi ketawakalan ayahnya itu dalam perbuatan ayahnya sehari – hari. Itu jangkar hidupnya. Dia kembali karena dia paham ayahnya percaya. Dia kembali karena ( akhirnya ) paham pengorbanan ayahnya. Dan sekarang ini, teman saya betul – betul like father like son. Ajaib ! Heheheh….
#3. Kl sinkron, didengerin. Kl gak sknkron, ya bakal dicuekkin. As simple as that. Hrs beri bukti, bukan janji *ini bukan iklan*
Contoh…contoh…contoh. Kadang masalah kita adalah terlalu berisik dengan kata – kata tapi kurang contoh. Akhirnya kata – kata lewat begitu saja, contoh pun tidak tertangkap. Blas kosong ! Repot, deh 🙂
#4. Bgmn kl ayah tyt bikin byk salah & gak tll bisa dijadikan contoh ? Rendah hatilah & mengaku pd anak. Dorong anak lbh baik. Ksatria.
Nah, ayah bukan sosok sempurna. Manusia juga, banyak salah juga. Dan kadang anak paham juga orang tuanya banyak kekurangan. Kan diajarin pandai juga oleh orang tuanya 🙂 Nah, kalau untuk hal satu ini, saya banyak belajar dari ayah saya. Jarang gengsi dalam membedah dirinya sendiri. Misalnya, waktu menasihati saya supaya punya rencana hidup yang baik sejak muda. Dia kasih contoh bahwa karena sempat senang main, kuliahnya pun lama 🙂 Dan dijabarkan oleh ayah apa kerugian – kerugian yang dia alami. Nampak santai saja menceritakan, tapi saya pun paham kalau itu dilakukan dengan mengalahkan gengsi yang luar biasa. Di ujung pembicaraan, ayah bilang, “Kamu harus lebih baik dari papa. Jauh lebih baik. Bendera papa ada pada kamu !”. Nah ini encouraging buat saya. Seperti juga saat ini saya santai saja menceritakan hal ini, adalah karena ada nilai lain yang saya petik dari ayah saya. Ada nilai lain yang saya bisa banggakan.
#5. Pd dsrnya anak itu ingin bangga pd ayahnya. Akan dicari hal yg bs membanggakan. Jd sediakanlah itu utk anak. Bangga utk hal2 baik dr ayah
Menyediakan hal – hal yang bisa dibanggakan oleh anak. Mengapa saya sebut menyediakan, karena itu harus dihadirkan secara nyata. Jangan sampai anak harus sedih dan bersusah payah mencari – cari apa yang bisa dibanggakan dari ayahnya. Dan hal yang disediakan itu hendaknya hal – hal yang memang nyata, bukan rekayasa. Kebanggaan tulus yang bernilai untuk anak. Api kecil dalam hatinya yang akan menyala terus.
#6. Menyediakan diri, mempersiapkan diri, menyadari diri adlh panutan & bisa dibanggakan. Hai, ayah…itu PR mu 🙂
Para ayah ditengah kesibukannya dan jihadnya mencari nafkah, punya banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan. Membelit tanggung jawab di diri para ayah untuk memimpin keluarga, menyelamatkan keluarga, juga menyelamatkan keluarga anak2nya kelak dengan memberi dasar keluarga yang baik saat ini.
Terimakasih untuk para ayah dan calon ayah, untuk para pemuda yang menyadari bahwa dia adalah lelaki dengan tanggungjawabnya. Berat beban di pundak para ayah setara dengan balasan dari Allah. Karena itulah ayah ada. Yang doa – doanya setara dengan doa para nabi untuk umatnya.