Kita melihat perubahan dalam kehidupan keuangan dari waktu ke waktu. Saat uang masih menipis, saat sudah banyak uang, saat bangkrut dan saat bangkit kembali. Kita mengamati diri kita, juga orang lain. Ada yang berubah karena uang, ada yang tidak. Ada yang bisa tetap happy dalam keterbatasan, ada yang sulit sekali menemukan titik syukur.
Uang perlu dipahami, supaya kita tidak gagal paham dalam menempatkan posisinya dalam hidup kita. Uang hanya alat. Sesederhana itu. Uang membantu kita memenuhi hal – hal yang kita perlukan untuk dikonsumsi. Juga memberikan kesempatan bagi kita memenuhi keinginan – keinginan.
Dimana sebenarnya kita harus meletakkan uang ? Uang kita letakkan di dompet, di tabungan, di tempat – tempat kita berinvestasi, atau dalam bisnis yang kita kelola. Uang ada di kewajiban kita untuk berzakat, juga di tempat – tempat dimana sedekah kita lapangkan dan di aset – aset yang kita wakafkan. Uang ada di tangan, bukan di hati. Seperti halnya sepatu, semahal – mahalnya sepatu tetap posisinya di kaki, tidak pernah bertengger di atas kepala.
Uang mengubah kita ? Ataukah kita yang mengijinkan diri kita untuk berubah karena kemudahan yang bisa ditawarkan oleh kelapangan rejeki ? Apakah kualitas hidup kita meningkat karena uang, ataukah hanya gaya hidup yang makin diatas – ataskan ? Kualitas hidup tidak meningkat. Malah makin sibuk dengan hal – hal remeh – temeh.
Kita yang mengijinkan diri kita untuk merubah keperluan makan menjadi sarana untuk memperlihatkan selera kita yang sudah berubah makin tinggi dari sekedar makanan biasa. Kita yang mengijinkan diri kita untuk mengejar kenyamanan dan prestise dalam berkendaraan, padahal fungsi asalnya sungguh sangat sederhana : membawa kita dari titik A ke titik B. Uang benda mati, kita lah yang mengijinkan uang dan membuat pilihan untuk “menghidupkan” uang. Tanpa kesadaran akan fungsi uang, kita akan powerless di hadapan uang.
Buku sering dinilai dari sampulnya. Begitupun, sayangnya, manusia. Kemampuan dompet diukur dari apa yang menempel di jari, di badan, yang ditenteng atau yang dikendarai. Kita terbawa dalam arus itu, sehingga sepertinya harus ada standar tertentu dalam penampilan supaya cocok dengan standar kepantasan kita.
Terlihat pantas memang tidak ada salahnya, memantaskan diri malah sebaiknya dilakukan. Tapi lakukan dengan masuk akal dan waras. Anda dan saya berharga by default. Perlombaan untuk memberikan “harga” terhadap diri kita melalui perlombaaan gaya hidup tidak akan membawa kita kemana – mana. Salah – salah, malah membuat kita tidak jujur pada diri sendiri, memaksakan gaya hidup yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan, bahkan, menjauhkan kita dari nilai sebagai manusia yang sebenar – benarnya.